Senin, 14 Januari 2008

Hidup Ini Bukan Untuk Ditangisi

Napoleon berkata di Saint Helena, “Saya tidak pernah mengenal kebahagiaan sepanjang enam hari dalam hidupku.”

Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik mengatakan, “Aku menghitung hari-hari bahagiaku, ternyata hanya tiga belas hari saja.”

Sedang ayahnya, Abdul Malik, mengeluh, “Seandainya aku tidak pernah memangku jabatan khalifah.”

Said Ibnul Musayyib berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan mereka lari kepada kami dan bukan kami yang lari kepada mereka.”

Ibnu Sammak seorang yang jago memberi nasehat menemui Harun al Rasyid. Saat itu Harun sedang merasa haus dan meminta segelas air. Maka, Ibnu Sammak bertanya,”Seandainya Anda dicegah untuk minum air itu, apakah Anda akan menebusnya dengan separuh kerajaanmu?”

Harun menjawab, “Ya” Setelah selesai minum Ibnu Sammak bertanya lagi, “Jika anda dicegah untuk mengeluarkan air yang telah Anda minum dari perutmu, apakah Anda rela membayar dengan separuh kerajaanmu yang lain?”

Harun menjawab, “Ya” Ibnu Sammak pun berkata, “Tidak ada artinya sebuah kerajaan yang nilainya tidak lebih berharga dari segelas air.”

Jika dunia ini tak ada keimanan di dalamnya maka dunia tidak ber guna, tidak berharga, dan tak bermakna.

Iqbal, seorang penyair filosof asal Pakistan,

“Jika iman telah tiada maka tidak ada lagi rasa aman, dan tidak ada dunia bagi siapa saja yang tidak menghidupkan iman.

Barangsiapa rela dengan kehidupan tanpa agama,

Dia telah menjadikan kehancurannya sebagai teman karibnya.”

Emerson dalam akhir makalahnya tentang kepercayaan terhadap diri sendiri mengatakan, “Kemenangan politik, naiknya upah, kesembuhan penyakit yang anda derita, atau kembalinya hari-hari bahagia, akan membayang dihadapan anda, tapi jangan pernah mempercayainya, karena kenyataan yang terjadi tidaklah demikian, tidak ada yang akan mendatangkan ketenangan dalam diri anda kecuali diri anda sendiri.”

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dari diridhai-Nya (QS. Al-Fajr : 27-28)

Filosof dan peulis cerita, Epiktetos, memperingatkan, “Bahwa keharusan menghilangkan pemikiran yang salah dalam pemikiran kita jauh lebih penting dari pada menghilangkan bisul dan tumor dari tubuh kita.”

Cukup mengherankan, bahwa perngatan terhadap penyakit pemikiran dan akidah, dalam Al-Qur’an lebih banyak dibandingkan peringatan terhadap penyakit jasmani. Allah berfirman,

Didalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (QS Al-Baqarah : 10)

Maka, tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka (QS Ash-Shaffat : 5)

Filosof Perancis Michel de Montaigne, menjadikan kata-kata berikut sebagai moto dalam kehidupan, “Manusia itu seharusnya tidak terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi sebagaimana ia terpengaruh oleh pendapatnya terhadap peristiwa tersebut.”

Dalam sebuah atsar disebutkan: “YA Allah jadikan aku rela dengan qadha-Mu

Di sunting dari La Tahzan (jangan bersedih)

Tidak ada komentar: